Artikel
MENGGUGAH NURANI EX OFFICIO HAKIM TERHADAP PUTUSAN CERAI VERSTEK YANG BERKEADILAN PEREMPUAN
Oleh : Teddy Lahati
(Hakim Pengadilan Agama Kotambagu)
- Pendahuluan
Perceraian adalah perkara yang mendominasi di Pengadilan Agama dari tahun ke tahun. Dilansir pada laman netz.id, angka perceraian pada tahun 2019 telah menembus angka 604.997 kasus, dengan rincian Cerai Gugat totalnya mencapai 355.842 kasus, sedangkan Cerai Talak mencapai 124.776 kasus. Pengadilan Agama Surabaya adalah Pengadilan Agama yang tertinggi menangani kasus perceraian, menembus angka 136.261 kasus, selanjutnya Pengadilan Agama Bandung adalah Pengadilan urutan kedua denga menangani 133.961 kasus, dan yang ketiga adalah Pengadilan Agama Semarang mencapai 112.399 kasus. Dan dari jumlah permohonan perceraian (604.997) sebanyak 79 % permohonan telah dikabulkan pengadilan, berarti lebih dari 479.618 pasangan menikah telah resmi bercerai.
Perempuan menjadi ‘tokoh utama’ yang menyumbang tingginya angka perceraian di Indonesia. Hal ini bermakna, telah banyak perempuan di Indonesia mengalami status janda yang nasibnya ditentukan oleh putusan hakim. Pasca perceraian kehidupan seorang perempuan mengalami perubahan yang signifikan, terutama masalah biaya hidup, entah bagaimana caranya memenuhi kebutuhannya setelah itu. Bagaimana bila dia memiliki seorang anak yang harus dihidupinya, beban rumah tangga yang ditinggalkan saat keluarga masih utuh, belum lagi status sosial ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Berbagai persoalan yang muncul diatas terhadap perempuan telah direspon oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung telah menyiapkan regulasi sebagai pedoman dalam mengadili perempuan yaitu dengan menghadirkan PERMA 3 Tahun 2017, SEMA 1 Tahun 2017, kemudian dituangkan lagi dalam SEMA No 2 tahun 2019 yang poinnya banyak memberikan hak-hak untuk perempuan.
Selain itu juga Hakim karena jabatannya memiliki hak ex officio yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam dalam menangani perkara cerai yang diajukan oleh perempuan. Kehadiran regulasi tersebut sebagai bentuk perlindungan perempuan dari ketidakadilan, sehingga hakim sebagai pengadil mampu tampil sebagai penjamin keadilan kaum perempuan secara menyeluruh (total justice).
Penulisan makalah sederhana ini bermaksud untuk me-refleksi putusan-putusan verstek, baik cerai gugat maupun cerai talak yang telah dilahirkan hakim Pengadilan Agama, dengan sebuah pertanyaan, apakah hakim Agama telah mengusung nilai-nilai keadilan gender dalam putusannya secara ex officio? Atau tidak sama sekali?
Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif atau yuridis normatif penulis mencoba akan menguraikannya seminimal mungkin dua putusan verstek dalam tulisan ini. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan yaitu 1). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan 2). Pendekatan konsep (konseptual approach)
- Pembahasan
Penulis mengawali bahasan ini dengan menyamakan persepsi ex officio menurut Subekti. Subekti memaknai ex officio sebagai karena jabatan, tidak berdasarkan surat penetapan atau pengangkatan, juga tidak berdasarkan suatu permohonan. Fokus yang ditekankan Subekti ada pada jabatan seorang hakim.
Hakim dalam hal ini hakim Pengadilan Agama yang menangani Perkara perceraian, dapat memutus lebih dari yang diminta karena jabatannya, hal ini berdasarkan pada Pasal 41 huruf c Undang-Undang Perkawinan.‘Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri’
Kompilasi Hukum Islam juga dalam pasal 149 huruf a dan b menegaskan ;
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka suami wajib a) memberikan mut’ah yang layak kepada istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul, b) memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
Berdasarkan pasal-pasal diatas terhadap maka diminta ataupun tidak oleh para pihak akan suatu tuntutan kewajiban, maka hakim dapat menjatuhkan pembebanan kepada pihak suami, baik dalam bentuk cerai gugat maupun cerai talak.
Putusan cerai gugat maupun cerai talak mayoritas diputus dengan verstek. Sebagaimana telah mafhum dipahami oleh para hakim, putusan verstek jatuh apabila Tergugat tidak hadir atau tidak juga mewakilkan kepada kuasanya untuk menghadap sekalipun telah dipanggil dengan patut (Pasal 125 HIR/ Pasal 149 Rbg).
Ada 2 putusan perceraian yang diputus verstek, sebagai bahan kajian ilmiah akan diuraikan dalam tulisan ini.
- Putusan Nomor 18/Pdt.G/2020/PA.xxx
Perkara cerai gugat yang diajukan oleh SZ melawan RJ, petitumnya hanya menginginkan;
- Mengabulkan gugatan Penggugat
- Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat (RJ) terhadap Penggugat (SZ)
- Membebankan biaya perkara kepada Penggugat sesuai hukum yang berlaku
Dengan tambahan tuntutan setelah dilakukan penasihatan oleh hakim, maka petitumnya berubah menjadi :
- Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah selama masa iddah kepada Penggugat sejumlah Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
- Menghukum Tergugat untuk membayar mut’ah kepada Penggugat berupa uang sejumlah Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
- Menghukum Tergugat untuk membayar akibat cerai kepada Penggugat sebelum pengambilan akta cerai
Majelis hakim telah menjatuhkan putusan dengan amar :
- Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut untuk menghadap di persidangan, tidak hadir.
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya dengan verstek.
- Menjatuhkan talak satu ba'in shugra Tergugat (RJ) terhadap Penggugat (SZ).
- Menghukum Tergugat untuk membayar akibat talak kepada Penggugat sebagai berikut:
- Nafkah selama masa iddah berupa uang sejumlah Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
- Mut’ah berupa uang sejumlah Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
- Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Tergugat ketentuan pada butir 4 (empat) diktum amar putusan ini sebelum Tergugat mengambil akta cerai.
- Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 966.000,00 (sembilan ratus enam puluh enam ribu rupiah).
- Putusan Nomor 2/Pdt.G/2020/PA.xxx
Perkara cerai talak yang diajukan oleh AA melawan ZD, dalam petitum menginginkan :
- Mengabulkan permohonan Pemohon.
- Memberi izin kepada Pemohon (AA) untuk menjatuhkan talak satu raj'i terhadap Termohon (ZD) di depan sidang Pengadilan Agama Sendawar.
- Membebankan biaya perkara sesuai peraturan perundang-undangan.
Majelis hakim telah menjatuhkan putusan dengan amar :
- Menyatakan Termohon telah dipanggil secara resmi dan patut untuk menghadap di persidangan, tidak hadir.
- Mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek.
- Memberi izin kepada Pemohon (AA) untuk menjatuhkan talak satu raj'i terhadap Termohon (ZD) di depan sidang Pengadilan Agama Sendawar.
- Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon kewajiban akibat talak sebagai berikut:
a. Mut’ah berupa cincin emas 23 (dua puluh tiga) karat seberat 5 (lima) gram.
b. Nafkah selama masa iddah berupa uang sejumlah Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
- Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon ketentuan sebagaimana butir 4 (empat) dalam diktum amar putusan ini selambat-lambatnya pada saat ikrar talak dilaksanakan.
- 6. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 916.000,00 (sembilan ratus enam belas ribu rupiah).
Ada hal yang menarik dari kedua putusan ini, yaitu majelis hakim mengabulkan petitum Pemohon dan Penggugat dengan menghukum Tergugat dan Pemohon untuk membayar nafkah iddah, dan mut’ah kendatipun pihak lawan tidak hadir. Kekhawatiran mindset putusannya akan illusoir telah ditinggalkan.
Legal reasoning yang dibangun berdasarkan Perma 3 tahun 2017 menjadi landasan kuat majelis untuk memberikan hak-hak perempuan, selengkapnya akan diuraikan dalam penggalan pertimbangan hukum dalam putusan pertama Nomor 18/Pdt.G/2020/PA.xxx;
‘Menimbang, bahwa pemenuhan kewajiban suami terhadap hak-hak istri akibat perceraian dapat diajukan dalam perkara cerai gugat atau istri yang mengajukan gugatan cerai terhadap suami. Hal tersebut sesuai dengan penegasan Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman dan Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan juga menegaskan bahwa “Mengakomodir Perma Nomor 3 tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, maka istri dalam perkara cerai gugat dapat diberi mut’ah dan nafkah iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz”’.
‘Menimbang, bahwa berdasarkan fakta persidangan, perselisihan dan pertengkaran Penggugat dan Tergugat disebabkan oleh kesalahan Tergugat. Kepergian Penggugat dari kediaman bersama juga akibat pengusiran Tergugat. Dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Penggugat bukanlah istri yang nusyuz atau membangkang kepada suami’.
Agar putusan ini tidak hampa, dan teknis pelaksanaan pemberian uang berjalan dengan baik maka majelis hakim telah mempertimbangkannya sebagai berikut :
Menimbang, bahwa Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum memiliki kehendak untuk menjamin hak-hak perempuan yang sedang berperkara di pengadilan. Hak-hak ini dimaksud juga adalah hak dengan mudah untuk mendapatkan hak-hak istri terhadap beban suami dalam hal pembayaran akibat talak. Norma ini juga disepakati dalam Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung yang kemudian dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2019, yang menegaskan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, untuk memberikan perlindungan bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka amar pembayaran kewajiban suami terhadap istri pasca perceraian dalam perkara Cerai Gugat dapat menambahkan kalimat sebagai berikut “yang dibayar sebelum Tergugat mengambil akta cerai”, dengan ketentuan amar tersebut dinarasikan dalam posita dan petitum gugatan. Dengan demikian, tuntutan Penggugat patut dikabulkan dengan menghukum Tergugat untuk membayar akibat talak sebagaimana termuat dalam putusan ini sebelum Tergugat mengambil akta cerai.
Selanjutnya untuk putusan kedua Nomor 2/Pdt.G/2020/PA.xxx, majelis hakim dalam membangun legal reasoningnya adalah sebagai berikut :
‘Menimbang, bahwa Pemohon menyatakan bersedia memberikan mut’ah kepada Termohon berupa cincin emas 23 (dua puluh tiga) karat seberat 5 (lima) gram, terhadap kesedian Pemohon tersebut, Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagai berikut…’
‘Menimbang, bahwa pertanyaan Majelis Hakim, Pemohon bersedia memberi nafkah iddah kepada Termohon sejumlah Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) selama masa iddah…’
Untuk menjamin kepastian pembayarannya, majelis hakim menegaskan dalam pertimbangannya :
Menimbang, bahwa Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum memiliki kehendak untuk menjamin hak-hak perempuan yang sedang berperkara di pengadilan. Hak-hak ini dimaksud juga adalah hak dengan mudah untuk mendapatkan hak-hak istri terhadap beban suami dalam hal pembayaran akibat talak. Norma ini juga disepakati dalam Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung yang kemudian dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2017, tanggal 19 Desember 2017 yang menegaskan bahwa kewajiban pembayaran akibat perceraian dapat dicantumkan dalam amar putusan dengan kalimat “dibayar saat pengucapan ikrar talak.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpandangan bahwa mut’ah dan nafkah iddah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi pada saat ikrar talak dilaksanakan, dengan demikian pemenuhan mut’ah dan nafkah iddah merupakan syarat untuk terlaksanakanya ikrar talak yang halal dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, demi untuk menjamin terpenuhinya hak-hak Termohon atau istri dalam pembayaran beban akibat talak Pemohon atau suami, maka Majelis Hakim menilai patut untuk menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon beban akibat talak berupa nafkah iddah dan mut’ah sebagaimana dalam pertimbangan di atas selambat-lambatnya pada sidang ikrar talak dilaksanakan.
Alas hukum yang digunakan hakim untuk memenuhi hak-hak perempuan sebagaimana dalam penggalan putusan diatas yaitu (1) PERMA 3 Tahun 2017, (2) SEMA 1 Tahun 2017 dan (3) SEMA 2 Tahun 2019 plus perintah Undang-Undang agar hakim dapat menggunakan ex officionya terhadap perempuan. adanya regulasi ini telah memberikan kekuatan bagi perempuan untuk memenuhi hak-haknya sebagai istri yang akan diceraikan, dan sangat disayangkan mereka tidak tahu apa-apa.
Paradigma Hakim selama ini adalah apabila istri mengajukan cerai kepada suami maka dianggap nusyuz atau membangkang sesuai dengan kaidah fiqh, sehingga istri tidak mendapat hak-haknya seperti nafkah iddah dan nafkah lampau. Mahkamah Agung mengharapkan supaya Hakim dalam memutus perkara perceraian dapat melihat alasan-alasan istri yang mengajukan gugatan perceraian tersebut. Istri dapat dianggap nusyuz atau tidak adalah setelah adanya pembuktian, jika istri tidak terbukti nusyuz maka istri tetap mendapatkan hak-haknya seperti nafkah iddah dan lampau sesuai dengan maksud Pasal 2 PERMA No 3 Tahun 2017. Sedangkan jika istri terbukti nusyuz maka istri tidak mendapatkan hak-haknya seperti nafkah iddah dan nafkah lampau
Membaca dua putusan diatas telah mengguncang putusan-putusan verstek yang telah dihasilkan hakim-hakim agama selama ini wabilkhusus kami hakim junior. Nurani penulis bertanya, sudah berapa kali putusan verstek dijatuhkan lewat palu sidangmu? Akankah putusan itu telah memberikan rasa keadilan bagi kaum perempuan? Bernilai gunakah putusan verstekmu itu bagi mereka? Ataukah putusan verstekmu itu hanya kertas putih yang isinya cetakan tinta-tinta printermu?
Pada dasarnya hak ex officio dapat digunakan pada situasi dan kondisi yang memungkinkan, halangan yang menyebabkan ex officio tersebut tidak dapat digunakan hakim yaitu apabila istri merelakan untuk tidak diberikannya hak-hak tersebut, istri dalam keadaan qabla ad-dukhul, istri dinyatakan nusyuz oleh hakim, dan suami tidak mempunyai kemampuan secara ekonomi untuk dibebani kewajiban tersebut. Sehingga penggalian fakta akan hal-hal tersebut diatas menjadi sangat penting bagi hakim.
Pembebanan yang dilakukan hakim terhadap suami akan menjadi kekuatan bagi istri pasca perceraian. Cerai gugat tidak akan menjadi perkara yang mudah bagi suami untuk menghindari pembebanan dibandingkan dengan perkara cerai talak. Bahkan kadang pihak suami telah membangun kesepakatan dengan pihak istri untuk mengajukan perkara cerai dengan iming-iming ‘nanti dikasih ongkos daftar perkara biar cepat’
- Penutup
Putusan verstek seyogyanya menjadi lebih bernilai dihadapan para pihak, terutama bagi kaum perempuan. Memberikan penghukuman kepada para lelaki yang telah menelantarkan adalah sesuatu yang wajib bagi hakim. Mahkamah Agung pun telah memberikan ruang bagi hakim untuk ‘membantu’ perempuan ketika harus berhadapan dengan hukum. Perempuan tidak lagi menjadi korban produk verstek yang tidak bermanfaat pasca perceraian. Diminta ataupun tidak dalam persidangan sejatinya ex officio menjadi ‘senjata’ bagi hakim dalam menunaikan hak-hak istri pasca perceraian.
Perempuan adalah makhluk lemah yang harus dilindungi. Menempatkan perempuan dalam ruang keadilan adalah sebuah kewajiban bagi para hakim agama, karena memang secara mayoritas putusan-putusan verstek diatas masih sangat jarang dilakukan oleh sang pengadil berjubah hijau.
Tulisan ini sekedar menggugah jiwa jiwa para hakim agar lebih memberikan nilai terhadap putusan verstek yang selama ini dilakukan. Penulis mengucapkan terima kasih banyak atas diskusi-diskusi ringan dari rekan-rekan hakim Pengadilan Agama Kotamobagu, teman-teman hakim Angkatan VII. Wallahua’lam