Artikel
Anak Durhaka Terhalang Mewarisi?
Oleh : Teddy Lahati, S.H.I.
PENDAHULUAN
Contoh kasus :misalnya A adalah anak durhaka, A telah menganiaya orangtuanya hingga jatuh sakit. Orangtuanya memiliki banyak harta untuk diwariskan. Beberapa tahun kemudian orangtua si A meninggal karena sakit akibat penganiayaan si A, pertanyaannya apakah si A berhak menerima harta warisan tersebut?
Dalam ilmu kewarisan, anak berhak untuk untuk menerima harta waris sebagaimana dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 174 ayat 2 bahwa apabila semua ahli waris ada maka yang mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Namun seiring dengan perkembangan zaman saat ini, secara realitas, tak bisa dipungkiri peristiwa-peristiwa yang diluar dugaan terjadi, misalnya anak yang tega menyakiti orangtuanya hingga masuk rumah sakit hingga peristiwa anak yang tega membunuh orangtuanya.
Olehnya, Penulis mengangkat wacana ini, sebagai bahan diskusi dalam menemukan atau menerobos hukum sehingga menciptakan hukum baru. Sehingga rumusan masalah yang penulis soroti dalam artikel ini apakah anak durhaka dapat mewarisi harta orangtuanya?.
PEMBAHASAN
Secara bahasa, kata al -‘uquuq (durhaka) berasal dari kata al-‘aqqu yang berarti al-qath’u (memutus, merobek, memotong, membelah). Adapun menurut syara’ adalah setiap perbuatan atau ucapan anak yang menyakiti kedua orang tuanya. Diantara bentuk durhaka adalah : Menimbulkan gangguan terhadap orang tua baik berupa perkataan (ucapan) ataupun perbuatan yang membuat orang tua sedih dan sakit hati.
Ada beberapa bentuk perbuatan anak durhaka seperti :
- Berkata ‘ah’ dan tidak memenuhi panggilan orang tua. Membentak atau menghardik orang tua.
- Bakhil, tidak mengurusi orang tuanya bahkan lebih mementingkan yang lain dari pada mengurusi orang tuanya padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.
- Merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, ‘kolot’ dan lain-lain.
- Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua atau lemah. Tetapi jika ‘Si Ibu” melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri maka tidak mengapa dan karena itu anak harus berterima kasih.
- Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.
- Mendahulukan taat kepada istri dari pada orang tua. Bahkan ada sebagian orang dengan teganya mengusir ibunya demi menuruti kemauan istrinya. Na’udzubillah.
- Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggalnya ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam ini adalah sikap yang amat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista
Dalam al-Qur’an dan Hadits dijelaskan bahwa durhaka kepada kedua orang tua adalah haram dan termasuk dosa besar. Allah Swt, berfirman:
Artinya:dan Tuhanmu menghendaki supaya kamu tidak menyembah kecuali kepada-Nya dan berbakti kepada kedua orang tua, jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya, sampai berumur lanjut dalam pemeliharaannmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.( QS. Al-Isro [17]: 23)
Diriwayatkan dari Abdurohman bin Abi Bakkah, dari ayahnya, dia berkata: “Rasulullah saw bersabda: Artinya:“Maukah kalian (jika) aku beritahukan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?” Kami (para sahabat ) menjawab: ‘Mau, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: ‘Menyekutukan (sesuatu) dengan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Saat itu beliau bersandar, lalu beliau duduk, kemudian bersabda: “Ketahuilah (juga) sumpah palsu dan kesaksian palsu. “Ketahuilah (juga) sumpah palsu dan kesaksian palsu.” Beliau terus mengulang-ngulang perkataan itu, sehingga aku berkata: “Beliau tidak mau diam.”
Umat Islam sepakat bahwa durhaka kepada kedua orang tua adalah suatu hal yang diharamkan dan termasuk dosa besar yang sudah disepakati keharamannya. Barang siapa yang durhaka kepada orang tuanya, maka Allah akan menghukumnya dengan hukuman yang berat, baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun hukuman di dunia, orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya akan berada dalam kemurkaan Allah. Hal ini sebagaimana yang dikabarkan oleh sang pembawa rahmat, Muhammad saw. Diriwayatkan dari ‘Abdulloh bin Amr’ bahwa dia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “Ridho Allah itu terletak pada Ridho orang tua, dan murka Allah itu terletak pada murka kedua orang tua.”
Barang siapa yang dimurkai Allah, maka dia akan dibenci olehNya, juga akan dibenci oleh seluruh makhlukNya, lebih dari itu, Allah dan malaikat akan melaknatnya. Diantara hukuman bagi orang yang durhaka kepada kedua orang tua adalah:
- Pelakunya menjadi sosok yang dilaknat oleh Allah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.
Artinya: “Allah melaknat orang yang mengubah batas (patok) tanah: Allah melaknat budak yang bertuan kepada selain tuannya; Allah melaknat orang yang menyesatkan jalan orang yang buta; Allah melaknat orang yang menyembelih (hewan) untuk selain Allah; Allah melaknat orang yang melakukan hubungan seksual dengan binatang; Allah melaknat orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya; dan Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth.”
- Rizkinya akan dipersempit. Kalaupun rizkinya dilapangkan, itu merupakan istidraz (tipuan) baginya. Dengan demikian, barang siapa yang berbakti kepada kedua orang tuanya, maka Allah akan melapangkan rizkinya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits:
Artinya:“Barang siapa yang ingin dipanjangkan umurnya oleh Allah dan dilapangkan rizkinya, serta dihindarkan dari kematian yang buruk, maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah dan membina hubungan silaturahmi.”
Berkaitan dengan ilmu waris, terlebih dahulu penulis akan melihat rukun waris. Menurut Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah ada tiga hal :
- Pewaris (al-waarits) ialah orang yang mempunyai hubungan penyebab kewarisan dengan mayit sehingga dia memperoleh kewarisan.
- Orang yang mewariskan (al-muwarrits): ialah mayit itu sendiri, baik nyata maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang yang hilang dan dinyatakan mati.
- Harta yang diwariskan (al-mauruuts): disebut pula peninggalan dan warisan. yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris
Ada tiga sebab dalam hal menerima warisan:
- Nasab Hakiki (kerabat yang sebenarnya), firman Allah SWT:
Artinya : dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
- Nasab Hukumi (wala = kerabat karena memerdekakan), sabada Rosululloh saw:"Wala itu adalah kerabat seperti kekerabatan karena nasab" (HR Ibnu Hibbandan Al-Hakim dan dia menshahihkan pula).
- Perkawinan yang Shahih, firman Allah SWT:
Artinya : dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,
Dalam menerima kewarisan ada tiga syarat :
- Kematian orang yang mewariskan, baik kematian secara nyata ataupun kematian secara hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian seseorang yang hilang. Keputusan tersebut menjadikan orang yang hilang sebagai orang yang mati secara hahiki, atau mati menurut dugaan seperti seseoran memukul seorang perempuan yang hamil sehingga janinnya gugur dalam keadaan mati; maka janin yang gugur itu dianggap hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata.
- Pewaris itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya itusecara hukum, misalnya kandungan. Kandungan secara hukum dianggap hidup, karena mungkin ruhnya belum ditiupkan. Apabila tidak diketahui bahwa pewaris itu hidup sesudah orang yang mewariskan mati, seperti karena tenggelam atau terbakar atau tertimbun; maka di antara mereka itu tidak ada waris mewarisi jika mereka itu termasuk orang-orang yang saling mewaris. Dan harta masing- masing mereka itu dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.
- Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan.
Dan adapun yang terhalang untuk mendapatkan warisan adalah orang yang memenuhi sebab-sebab untuk memperoleh warisan, akan tetapi dia kehilangan hak untuk memperoleh warisan. Orang yang demikian dinamakan MAHRUM. Penghalang itu ada empat:
- Perbudakan: Baik orang itu menjadi budak dengan sempurna atau tidak.
- Pembunuhan dengan sengaja yang diharamkan.Apabila pewaris membunuh orang yang mewariskan dengan cara zhalim, maka dia tidak lagi mewarisi, karena hadits Nabi saw bersabda :"Orang yang membunuh itu tidak mendapatkan warisan sedikitpun".Adapun pembunuhan yang tidak disengaja, maka para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Berkata Asy-Syafi'i: Setiap pembunuhan menghalangi pewarisan, sekalipun pembunuhan itu dilakukan oleh anak kecil atau orang gila, dan sekalipun dengan cara yang benar seperti had atau qishash. Mazhab Malikiberkata: Sesungguhnya pembunuhan yang menghalangi pewarisan itu adalah pembunuhan yang sengaja bermusuhan, baik langsung ataupun mengalami perantaraan. Undang-undang Warisan Mesir mengambil pendapat ini dalam pasal lima belas, yang bunyinya : "Di antara penyebab yang menghalangi pewarisan ialah membunuh orang yang mewariskan dengan sengaja, baik pembunuh itu pelaku utama, serikat, ataupun saksi palsu yang kesaksiannya mengakibatkan hukum bunuh dan pelaksanaannya bagi orang yang mewariskan, jika pembunuhan itu pembunuhan yang tidak benar atau tidak beralasan; sedang pembunuh itu orang yang berakal dan sudah berumur lima belas tahun; kecuali kalau dia melakukan hak membela diri yang sah.
- Berlainan agama dengan demikian seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan seorang kafir tidak mewarisi dari seorang muslim; karena hadits yang diriwayatkan oleh empat orang ahli hadits, dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi saw bersabda:"Seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir, seorang kafirpun tidak mewarisi dari seorang muslim".Diriwayatkan oleh Mu'adz, Mu'awiyah, Ibnul Musayyab, Masruq dan An-Nakha'i, bahwa sesungguhnya seorang muslim itu mewarisi dari seorang kafir; dan tidak sebalinya. Yang demikian itu seperti halnya seorang muslim laki-laki boleh menikah dengan seorang kafir perempuandan seorang kafir laki-laki tidak boleh menikah dengan seorang muslim peremp
PENUTUP
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 173 dijelaskan tentang Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
- dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
- dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Anak durhaka dilihat dari perspektif Kompilasi Hukum Islam pasal 173 huruf a bahwa mencoba membunuh atau menganiaya berat menyebabkan seseorang akan terhalang untuk mewarisi. Perbuatan durhaka seorang anak yang telah menyakiti orang tuanya secara fisik, psikis dan dipertegas pula dalam huruf b telah melakukan suatu tindakan kejahatan yang telah mendapat hukuman penjara atau hukuman berat maka ini akan menghalanginya menerima kewarisan dari orangtuanya
Dalam perspektif hukum pidana, seseorang yang Secara sengaja (dolus) dan tidak sengaja (alpa) tindakan menghilangkan nyawa seseorang adalah bentuk kesalahan tindak pidana sebagaimana ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain yang diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350. Hal ini sejalan dengan hukum Islam. Anak yang membunuh orangtuanya, sudah jelas dan nyata anak tersebut masuk dalam kategori anak durhaka yang terhalang untuk menerima kewarisan
Durhakanya seorang anak yang tidak sampai membunuh orangtuanya, menjadi pertanyaan besar? Apakah berhak menerima harta waris? Penulis berpendapat bahwa dalam al-Qur’an dan hadits telah dijelaskan bahwa “Malaikat bahkan Allah pun melaknat orang yang berbuat durhaka kepada orangtuanya serta akan disempitkan rezekinya. Kompilasi Hukum Islam tentang perbuatan seseorang dalam hal ini seorang anak yang mencoba atau dengan sengaja menganiaya berat pewaris, adalah terhalang dalam menerima warisan, sehingga dengan demikian perbuatan anak yang tidak mencintai orangtuanya tidak berhak mewarisi.wallahu a’lam.