Artikel
KOKOHKAN! EKSISTENSI PERADILAN AGAMA DI NEGERI +62
Oleh : Teddy Lahati, SHI., MH
(Hakim Pengadilan Agama Kotamobagu)
Embrio Peradilan Agama
Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris hams diserahkan kepada pengadilan negeri.
Menghapuskan pengadilan agama terus berlangsung ditandai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah.
Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai Nampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pertama, Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa";
Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara;
Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan.
Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.
Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sama dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.
Eksistensi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Muatan-muatan yang ada didalamnya sangat mengadopsi nilai-nilai yang ada dalam hukum Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).
Negara kembali hadir untuk mengokohkan Peradilan Agama dengan melahirkan Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Cibiran terhadap Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dalil bahwa Pengadilan Agama hanya mengakomodasi pencari keadilan yang beragama Islam. Sang Penggugat adalah seorang mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang bernama Thresia Idriani Niangtyasgayatri dengan Nomor perkara 1972/PAN.MK/V/2020 tanggal 11 Mei 2020
Thresia mengajukan permohonan tersebut terhadap sebagian frasa dan kata dalam Pasal 2 dan Pasal 49 UU tentang Peradilan Agama. Kedua Pasal dinilai bertentangan dengan Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945"Hal ini dikarenakan pasal tersebut isinya hanya menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan bagi masyarakat dengan agama lain”.
Keresahan yang pemohon maksud, yakni hanya masyarakat beragama Islam yang boleh mencari keadilan ke pengadilan agama. Thresia yang beragama Katolik menilai hal itu bentuk diskriminasi bagi pemeluk agama lain.Pasal 2 UU Nomor 3 Tahun 2006 berbunyi, "Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini.
"Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 berbunyi, "Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah."Berlakunya kata 'yang beragama Islam' pada kedua pasal tersebut dinilai mesti ditinjau pemberlakuannya. Jika kata tersebut dihapus, masyarakat non-Islam tidak dibatasi dalam proses keadilan baik melalui hukum perdata maupun hukum agamanya.
Penghapusan kata tersebut akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat non muslim maupun yang beragama minoritas. Kemudian, hak-hak warga negara Indonesia terlindungi sepenuhnya.Dalam petitumnya, Thresia selaku pemohon meminta dikabulkannya permohonan tersebut untuk seluruhnya. Pemohon juga meminta agar MK menyatakan Pasal 2 dan Pasal 49 UU Nomor 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama tidak berkekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Respon para pakar hukum
Mereview pendapat pakar hukum, Prof Mahfud MD, yang saat itu menjabat sebagai Hakim MK saat menangani perkara Suryani. Pemohon (Suryani) mempersoalkan kewenangan pengadilan agama yang dikhususkan untuk umat Islam hanya terbatas memeriksa perkara perdata saja. Ia meminta agar wilayah hukum pidana Islam juga masuk kewenangan pengadilan agama.
Sebagai seorang muslim, lanjutnya, menjalankan ibadah merupakan kewajiban. Karena itu, berada dalam yurisdiksi hukum Islam secara menyeluruh, termasuk hukum pidana, merupakan bagian dari ibadah. Jadi, ibadah itu bukan hanya shalat, puasa, zakat dll, tuturnya ketika diberi kesempatan menjelaskan permohonannya di depan hakim panel konstitusi.
Tak lupa, Suryani membawa Undang Undang Dasar 1945 untuk berbicara lebih lanjut. Ia pun mengutip Pasal 29 ayat (2) UUD'45. Pasal itu berbunyi ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu'.
Prof. Mahfud MD mengingatkan fungsi MK sebagai negative legislator. Artinya, MK hanya bisa membatalkan suatu norma tanpa bisa memasukan norma ke dalam pasal seperti yang diinginkan oleh Suryani. Kalau terkait menambah atau memperbaiki norma, itu adalah urusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Karenanya, Mahfud meminta agar Suryani berpikir ulang. Saudara tahu resikonya, kalau MK membatalkan pasal ini berarti seluruh peradilan agama harus bubar, karena kewenangannya telah habis? tanyanya. Berani Anda ambil resiko ini untuk umat?
Prof Jimly Asshiddiqie juga menegaskan "Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama tidak bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945." MK berpendapat Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu. Namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat."Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing,"
Dalam hubungannya dengan dasar falsafah Pancasila, hukum nasional harus menjamin keutuhan ideologi dan integrasi wilayah negara, serta membangun toleransi beragama yang berkeadilan dan berkeadaban. Dengan demikian, hukum nasional dapat menjadi faktor integrasi yang merupakan alat perekat dan pemersatu bangsa. "Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras. Jika masalah pemberlakuan hukum Islam ini dikaitkan dengan sumber hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam memang menjadi sumber hukum nasional, tetapi hukum Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional, sebab selain hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat, serta sumber tradisi hukum lain pun menjadi sumber hukum nasional,".
Prof jimly menambahkan, oleh sebab itu, hukum Islam dapat menjadi salah satu sumber materiil sebagai bahan peraturan perundang-undangan formal. Hukum Islam sebagai sumber hukum dapat digunakan bersama-sama dengan sumber hukum lainnya. "Sehingga menjadi bahan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum nasional,". MK berpendapat bahwa ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945, menunjukkan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan yang berwenang menegakkan hukum dan keadilan. Yang ruang lingkup dan batas kompetensinya ditentukan oleh undang-undang. "Oleh sebab itu, pengaturan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945,"
Tuduhan menyesakkan dibalas dengan Prestasi
Berbagai macam tuduhan datang bertubi-tubi menghantam Peradilan agama akan tetap ditanggapi oleh YM Andi Syamsu Alam saat itu menjabat Ketua Kamar Agama dengan sangat rendah hati. Beliau mengatakan, secara umum putusan-putusan dari peradilan agama sudah membaik bila dibandingkan beberapa dekade lalu. Meski demikian, ditegaskannya, masih ada putusan-putusan yang kurang berkualitas. Ia menilai hal ini sebagai penyakit yang harus segera disembuhkan, mengingat putusan adalah mahkotanya para hakim. Kelemahan putusan-putusan dari peradilan agama telah diminimalisir dengan menghadirkan sang maestro hukum acara M Yahya Harahap kala itu.
Peradilan Agama kini telah menjelma menjadi peradilan Agama yang modern, berbasis tekonologi informasi. Kemajuan teknologi informasi menjadi media untuk menguatkan kinerja peradilan agama menjadi lebih baik.
Saat ini Peradilan Agama melakukan lompatan yang luar biasa. Badan Peradilan Agama yang dahulunya tertinggal dari badan peradilan yang lain kini dalam top perform. Banyak sekali inovasi yang telah dilakukan peradilan agama, bahkan hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh badan peradilan lainnya.
Inovasi yang dilakukan dapat kita lihat pada uraian dibawah ini, yaitu:
- Menghadirkan 11 Aplikasi yaitu Notifikasi Perkara, Informasi Produk Pengadilan, Antrian sidang, Basis Data Terpadu Kemiskinan, Command Center, PNBP Fungsional, E-Eksaminasi, E-Register, E-Keuangan, Validasi Akta Cerai, dan Aplikasi Gugatan Mandiri.
- Memantau dan melakukan pengawasan terhadap kinerja seluruh satuan kerja melalui Command Centre
- Menjadikan SIPP sebagai penghargaan kepada para hakim untuk menjadi pimpinan
- Meningkatkan kualitas Sumber daya Manusia dengan menghadirkan Hakim agung sebagai narasumber utama pada diskusi daring, dan ini benar2 sangat bermanfaat bagi peradilan agama
- Mengubah wajah peradilan agama menjadi lebih bermartabat, inovatif dan berintegritas dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Akreditasi Penjaminan Mutu, Zona Integritas.
- Pelaksanaan purnabakti hakim tinggi secara daring yang disaksikan oleh seluruh pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah.
Dan masih banyak lagi inovasi-inovasi yang dilakukan peradilan agama.
Upaya Memperkuat Peradilan Agama
Peradilan Agama sebagai tempat pencari keadilan hendaknya menghadirkan wajah keadilan, sebagai penonggak keadilan di bumi. Membuat putusan-putusan yang berkualitas, dengan argumentasi hukum yang memiliki semangat keadilan, ditunjang dengan latar belakang para hakim peradilan agama yang bertitel Doktor sebagaimana harapan para sesepuh.
Kemajuan Teknologi direspon dengan baik oleh Peradilan Agama dengan melakukan langkah-langkah yang nyata, demi sebuah pelayanan kepada pencari keadilan. Tak tanggung-tanggung terobosan dalam dunia persidangan, para pihak tak perlu lagi sesering mungkin datang menghadap di persidangan, dengan system e-court semuanya dimudahkan.
Kerjasama yang dilakukan dengan dunia Internasional yang dilakukan oleh peradilan Agama sebagai gebrakan untuk memperbaiki kualitas para hakim peradilan agama. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan dari dunia Internasional akan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia, sehingga telah ada program-program dengan beberapa negara, seperti Qatar, Sudan, Jepang, Australia dan lain sebagainya untuk kualitas peradilan agama dimasa depan.
Bila Ustadz Abdul Shomad menegaskan wajib mempertahankan peradilan Agama maka itu seruan agar seluruh aparatur peradilan agama memperbaiki kualitas kinerja, menjaga citra dan wibawa peradilan agama. Tidak berlebihan bila penulis ingin mengatakan dalam tulisan sederhana ini sebagai penutup, bahwa kitalah penentu masa depan peradilan agama, dengan kerja keras, pelayanan berkualitas dan semangat berkeadilan.
Wallahu a’lam