Artikel
Hak Anak Pasca Perceraian Orang Tua dalam Undang-Undang dan SEMA
oleh Dr. H. Chazim Maksalina, M.H.
Ketua Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo
Frasa kelompok masyarakat rentan (vulnerable groups) ditemukan pada UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM). Dalam peraturan tersebut, kelompok rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan orang dengan disabilitas. UU No. 39 tidak memberi definisi atau keterangan lebih lanjut tentang kelompok rentan. Secara umum kelompok yang dikatagorikan kelompok rentan dalam Undang-undang ini kurang lengkap.
Dalam tulisan ini kita hanya memfokuskan pada kelompok rentan anak khususnya yang berkaitan dengan hak-hak anak akibat perceraian orang tuanya.
Hak anak pasca perceraian orang tua di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Berikut adalah hak-hak anak setelah terjadinya perceraian:
1. Hak untuk Diberi Nafkah
Orang tua tetap wajib menafkahi anak, meskipun kedua orang tuanya sudah bercerai (Pasal 41(c) UU Perkawinan). Jika pengasuhan diberikan kepada ibu, ayah wajib membayar nafkah anak sampai anak dewasa atau mandiri. Dalam Pasal 156 UU Perkawinan, dinyatakan jika ayah tidak mampu, kewajiban bisa beralih ke keluarga ayah (kakek atau paman) atau ibu jika memungkinkan (Pasal 45 UU Perlindungan Anak).
2. Hak atas Pengasuhan (Hadhanah)
Anak di bawah 12 tahun umumnya menjadi hak ibu (Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam/KHI), kecuali jika ada alasan kuat (misalnya ibu tidak mampu atau berkelakuan/berperangai buruk).
Anak yang sudah mumayyiz anak yang sudah bisa membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk, (bisa memilih, biasanya usia 12 tahun atau lebih) berhak menyatakan keinginan untuk memilih tinggal dengan ayah atau ibu (Pasal 299 KHI).
Pengadilan bisa memutuskan pengasuhan berbeda jika demi kepentingan terbaik anak the best interst of child (Pasal 41 huruf (a) UU Perkawinan).
3. Hak untuk Bertemu dengan Orang Tua
Anak berhak berhubungan langsung atau bertemu langsung dengan orang tua yang tidak mengasuhnya (Pasal 41(b) UU Perkawinan). Salah satu pihak orang tua yang ditetapkan pengasuhan anak, dilarang menghalangi orang tua tersebut untuk bertemu dengan anak.
Orang tua yang tidak mengasuh bisa mengunjungi anak atau membawa anak dalam waktu tertentu, kecuali ada risiko bagi anak (misalnya kekerasan).
4. Hak atas Pendidikan dan Kesehatan
Orang tua wajib membiayai pendidikan dan kesehatan anak (Pasal 26 UU Perlindungan Anak).
Jika orang tua tidak mampu, negara bisa membantu melalui program bantuan sosial (misalnya PIP/KIP untuk pendidikan atau BPJS Kesehatan).
5. Hak atas Harta Waris
Perceraian tidak menghilangkan hak waris anak dari ayah/ibunya (Pasal 180 Kompilasi Hukum Islam/Pasal 832 KUHPerdata).
6. Hak untuk Mendapat Perlindungan
Anak berhak dilindungi dari diskriminasi, kekerasan, dan penelantaran (Pasal 9 UU Perlindungan Anak).
Jika orang tua lalai, keluarga atau lembaga perlindungan anak bisa mengajukan pengaduan ke DP3AKB (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) atau Pengadilan.
Proses Penetapan Hak Anak
Hak anak harus ditetapkan dalam putusan pengadilan (Pengadilan Agama untuk muslim, Pengadilan Negeri untuk non-muslim).
Jika orang tua tidak memenuhi kewajiban, bisa mengajukan gugatan perdata ke pengadilan (Agama). Contoh kasus misalnya ayah tidak memberi nafkah kepada anaknya, seorang ibu bisa mengajukan gugatan nafkah anak ke Pengadilan Agama. Jika seorang ibu menghalangi anak untuk bertemu dengan ayah, maka ayah bisa mengajukan permohonan untuk mengunjungi anak ke pengadilan.
Hak Anak Dalam SEMA
1. Rumusan hukum dalam Kamar Agama Tahun 2015, SEMA Nomor 03 Tahun 2015 angka (10), menyatakan "Penetapan hak hadhanah (pengasuhan) sepanjang tidak diajukan dalam gugatan/permohonan, maka hakim tidak boleh menentukan secara ex officio siapa pengasuh anak tersebut. Pada angka (11) berbunyi "Nafkah anak merupakan kewajiban orang tua, tetapi amar putusan yang digantungkan pada harta yang akan ada sebagai jaminan atas kelalaian pembayaran nafkah anak tersebut tidak dibenarkan".
2. Dalam SEMA 04 Tahun 2016 angka (5) disebutkan "Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan nafkah anak kepada ayahnya apabila secara nyata anak tersebut berada dalam asuhan ibunya, sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 156 huruf f KHI.
3. Selanjutnya SEMA Nomor 03 Tahun 2018, Rumusan Kamar Agama, nomor 1 Hukum Keluarga huruf (b) berbunyi, "Nafkah madliyah, nafkah iddah, mut'ah dan nafkah anak menyempurnakan Rumusan Kamar Agama dalam SEMA Nomor 07 Tahun 2012, sehingga berbunyi: "Hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah (lampau), nafkah iddah, mut'ah dan nafkah anak harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan suami dan fakta kebutuhan dasar hidup isteri dan/atau anak"
4. SEMA Nomor 02 Tahun 2019, Rumusan Kamar Agama, nomor 1 Hukum Keluarga huruf (a): "Nafkah lampau (madhiyah) anak yang dijalankan oleh ayahnya dapat diajukan gugatan oleh ibunya atau oleh orang yang secara nyata mengasuh anak tersebut"
5. Rumusan Kamar Agama 2021, SEMA Nomor 05 Tahun 2021 huruf (a). "Untuk memenuhi asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child) dan pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, terhadap pembebanan nafkah anak, isteri dapat mengajukan permohonan penetapan harta milik suami sebagai jaminan pemenuhan nafkah anak dan objek jaminan tersebut diuraikan secara rinci dalam posita dan petitum gugatan, baik dalam konvensi, rekonvensi ataupun gugatan tersendiri;
6. Rumusan Kamar Agama 2022, SEMA Nomor 01 Tahun 2022, huruf (a). "Untuk menjamin terwujudnya asas kepentingan terbaik bagi anak dalam perkara harta bersama yang objeknya terbukti satu-satunya rumah tempat tinggal anak, gugatan tersebut dapat dikabulkan, akan tetapi pembagiannya dilaksanakan setelah anak tersebut dewasa (berusia 21 tahun) atau sudah menikah.
Dari catatan di atas, kita dapat mengetahui secara jelas bagaimana aturan pemenuhan hak-hak anak pasca terjadinya perceraian kedua orang tuanya yang diatur dalam perundangan dan teknis pelaksanaannya dalam SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung). Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam bishowab
Allahumma sholli a'la sayyidina Muhammad wa a'la alihi wa sohbihi wa sallim ajma'in